Monday, August 8, 2011

[FF] The Law of Ueki 1

Halooo :D hem ehm saya balik dengan fanfict! setelah mengulang anime TLoU dan baca komik the law of ueki... jadi kepengen bikin fanfictnya. hehe, rencana mau dimasukin ke fanfiction.net tapi... ntar deh! hehe :) oke, R&R! *kayak di fanfiction.net aje*

(My first) The Law of Ueki Fanfict

Cast: Kousuke Ueki, Ai Mori, Rinko Gerrad, Seiichiro Sano, Hideyoshi, Robert Hydn

Rate: T

Genre: Drama/Romance/Hurt

Disclaim: The Law of Ueki punya-nya Fukuchi Tsubasa!

Sudah lewat hampir 10 tahun, semenjak seorang gadis berambut Aqua ini mengalami kejadian paling tidak terlupakan di hidupnya. Pertarungan merebut kursi dewa. Ah, sudah lama sekali. Saat itu, Mori merasakan banyak hal. Sedih, Senang, haru, arti persahabatan, pengorbanan, keadilan, dan juga... cinta. Ai tersenyum mengingatnya. Ini semua berkat anak bermuka polos tidak ada dua, Kousuke Ueki. Ai masih ingat sekali namanya. Ah, siapa yang bisa melupakan nama dari seorang laki-laki bodoh tapi mengesankan seperti Ueki?

Ai duduk di meja belajarnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Tangannya menggenggam erat sebuah bingkai foto. Fotonya dengan keempat sahabatnya. Rinko, Sano, Hideyoshi dan... Ueki. Foto ini diambil setelah mereka pulang dari langit. Setelah itu, mereka terpisah.

Ai yang memang satu SMP dengan Ueki, setelah lulus, mereka tidak pernah bertemu lagi. Yang ia ingat hanya kata-kata Ueki saat kelulusan, “Aku tidak tahu kita akan bertemu lagi kapan. Kau tahu bakat yang kupilih, kan Ai?”

Saat itu Ai benar-benar percaya dengan perkataannya. Tapi... jika 10 tahun begini... apakah mereka akan bertemu lagi? Apakah Ueki masih mengenalnya? Ai menghembuskan napas kecewa. 10 tahun bukan waktu yang singkat, kan? Apalagi anak bodoh seperti Ueki! Kemungkinan 90% ia akan melupakan wajah gadis aqua ini! Ai memandang lekat foto Ueki 10 tahun lalu.

“Dasar bodoh! Awas saja jika melupakan wajahku!”

Ai terdiam. Wajahnya berpaling, menatap ke keluar jendela. Menerawang,

“Kousuke Ueki... kau baik-baik saja? Bagaimana ya tampangmu setelah lewat 10 tahun?”

***

“Ai! Kiriman untukmu!”

Suara berat ayahnya membuat mata Ai yang setengah mengantuk karena membaca buku, terbuka lebar. Dengan malas, Ai melangkah keluar kamarnya menuju ruang TV. Disana ayahnya, yang tampak sudah tua itu menggenggam amplop berwarna emas. Eh? Apa itu? Tanya Ai dalam hati.

“Apa itu, Ayah?”

“Tidak tahu. Sepertinya undangan” ayah Ai mengangkat bahu tanda tidak tahu. Ai meraih amplop yang agak besar itu. Menatapnya sebentar, dan mengucapkan terima kasih pada ayahnya.

Firasat Ai menjadi sedikit tidak enak memengang amplop ini! Apakah ini undangan pernikahan... Ueki?! Ah, jika itu terjadi memangnya Ai bisa apa? Menyatakan perasaannya pada Ueki pun tidak pernah. Tunggu! Memangnya aku suka si rambut semak itu?! Ai menggelengkan kepalanya.

Dengan satu tarikan napas, ia membuka amplop itu. Dadanya tidak bisa berhenti berdegup. Tangannya sedikit bergetar. Jujur, Ai takut sekali jika apa yang ia pikirkan tadi menjadi kenyataan.

“Eh? Ini...”

Senyum Ai tidak bisa ditahan lagi. Kebahagiaan menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tidak sanggup menahan kebahagiaannya, juga setengah percaya.

“Ya ampun! Hahaha!” Ai menaruh undangan pernikahan itu perlahan di atas mejanya.

“Sepertinya aku harus membeli gaun baru...” Ai meninggalkan kamarnya. Sinar matahari menyinari undangan pernikahan itu.

Seiichiro Sano & Rinko Gerrard.

***

Ai bingung apa yang akan ia pakai untuk pergi ke pernikahannya Sano dan Rinko. Sungguh diluar dugaan, sahabatnya yang dulu sering sekali bertengkar kini sudah menjadi suami-istri? Ai sedikit iri.

Akhirnya, Ai memutuskan untuk memakai dress berpotongan selutut dengan renda dibawahnya, berwarna putih. Juga pita berwarna aqua di tengah bajunya. Tidak lupa, kacamata kesayangan Ai. Kacamata. Jadi teringat lagi kejadian 10 tahun lalu.

“Ai, mau kemana?” tanya Ibu Ai, yang sedang duduk sambil menonton TV.

“Ibu tahu Rinko dan Sano? Mereka menikah!” lagi-lagi Ai tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya. Ibunya tersenyum, lalu mendekati Ai,

“Kenapa rambutnya diikat?” Ai menyentuh rambutnya. Ah, rambut Ai sekarang memang panjang, tidak pendek seperti dulu. Ia juga sering mengikatnya.

“Ai-chan itu cantik jika rambutnya di urai begini...” ibu Ai melepas ikat rambut Ai. Ai terdiam.

“Memangnya kau tidak mau menyusul Rinko dan Sano?” kata-kata ibunya itu membuat Ai menoleh,

“Eh? Maksud ibu apa?”

“Tidak apa-apa. Ai sudah besar, kan? Ai pasti mengerti”

Ai menaiki taksi yang sudah dipesannya, lalu melambai pada ibunya. Sepanjang perjalanan, Ai memikirkan terus perkataan ibunya. Menyusul Rinko dan Sano. Terlintas wajah Ueki dipikiran Ai. Ai tersentak. Ia menggelengkan kepalanya kuat, Apa yang kau pikirkan sih, Ai Mori! Kenapa si kepala hijau itu yang kau pikirkan. Kau tidak boleh berharap padanya...

Ai memaki dirinya sendiri. Tapi, hati memang tidak bisa berbohong. Rasa iri ini begitu hebat, hingga terasa nyeri di hati. 10 tahun, Ai menunggu. Tapi ia sendiri tidak tahu orang yang ditunggu itu dimana, masih hidup atau tidak, Ai tidak tahu.

Ai bodoh. Setetes air mata Ai jatuh. Buru-buru ia menghapusnya. Buat apa menangisi orang yang tidak jelas keberadaannya? Ya kan?

Tapi, kenapa air mata itu terus keluar?

***

Gadis berambut aqua itu membasuh wajahnya. Matanya kini terlihat merah dan sembab karena di taksi ia menangis. Ai menyesal menangis, menangisi orang bodoh itu! Ai mengeluarkan kotak bedak dari tas kecilnya, untuk menyamarkan matanya yang sembab.

Semangat, Ai! Kau itu datang untuk menemui Rinko dan Sano yang menikah! Kau harusnya juga bahagia dong, Ai.

Ai melangkah keluar dari toilet. Belok ke kenan, dan ia melihat pintu besar. Di depan pintu besar itu bertuliskan, Seiichiro Sano & Rinko Gerrard Wedding. Ai tersenyum melihatnya. Ia pun memasuki pintu besar itu, dan di dalam sudah ramai.

“Ai-chaaaan!” Ai menoleh saat mendengar nada suara yang begitu ceria, Ai langsung tahu itu siapa. Walaupun sudah lewat 10 tahun, ia tidak bisa melupakan pemilik suara secerah matahari ini.

“Hideyoshi!” Ai merasa sangat bahagia. Ia begitu merindukan sosok yang satu ini!

“Ai-chan! Sungguh, aku merindukanmu! Ya tuhan, kau kemana saja selama ini?” tanya Hideyoshi. Ai menatap wajah Hideyoshi yang sedikit lebih tampan dari dulu. Apalagi tubuhnya dibalut dengan jas formal begitu. Ai tidak bisa menahan senyumnya,

“Aku tetap disini kok! Kau yang kemana! Hahaha. Hideyoshi, kau berubah”

“Kau juga, tahu, hei Ai-chan. Oh ya, mana si rambut jabrik hijau itu?”

Pertanyaan yang sama dengan Ai. Apa Ueki tidak diundang? Sano dan Rinko tidak mungkin tidak mengundang Ueki, kan?

“Maksudmu... Ueki? Aku juga tidak tahu,” nada bicara gadis aqua ini berubah. Hideyoshi menatap Ai iba, turut sedih. Semua orang juga begitu. Merindukan sosok si kepala hijau.

“Dasar orang bodoh! Dari dulu sampai sekarang memang tidak berubah ya? Oh, ya, Mori! Sudah lihat Rinko dan Sano? Mereka sangat cocok!”

Ai mengangkat kepalanya. Oh ya! Sano dan Rinko! Kenapa ia bisa melupakan pasangan itu ya? Ini kan pernikahannya. Ai tersenyum,

“Aku belum lihat! Hideyoshi, terima kasih. Kalau begitu, aku kesana dulu ya”

“Oke. Kalau kau mencariku, carilah aku di tempat makanan, ya! Hehehe”

Hideyoshi tidak berubah. Selalu ceria.

***

Rinko mengedarkan matanya ke seluruh ruangan. Menunggu seseorang. Sano yang sedang tersenyum kepada tamu undangan yang datang merasa risih karena istrinya itu sama sekali mengacuhkan tamu.

“Nyonya Seiichiro! Kau sedang melihat apa?”

“Aduh, Sano-kun... mana sih Ai-chan? Aku kan rindu sekali padanya! Kau yakin kan alamatnya tidak salah?” raut wajah Rinko sangat cemas. Sano juga berpikir begitu. Mana ya, Ai? Dia juga merindukan sosok itu.

“Tidak kok, alamatnya benar. Tunggu saja, Rinko. Aku yakin ia pasti datang”

“Benarkah?”

“Mm.” Sano mengangguk. Semoga, Ueki juga datang. Dasar orang bodoh, kenapa tidak ada kabar begitu? Sano berharap dan memaki Ueki di hatinya.

***

“R-rinko-chan!!” Ai tidak dapat menahan pelukannya saat bertemu dengan Rinko. Begitu juga Rinko, melihat kepala orang berwarna aqua ia sudah menggebu-gebu.

“Aku tahu kau pasti datang!”

“Tentu saja, Rinko-chan!”

“Hai, Ai Mori! Lama tidak bertemu, ya?” Sano menghampiri kedua wanita itu. Ai melepaskan pelukannya. Ia menatap Sano. Wah, Sano juga terlihat berbeda. Ia sangat dewasa, mapan, dan juga tampan. Ai merindukan mereka berdua!

“Sano! Rinko! Selamat ya! Aku tidak percaya kalian akan sejauh ini...” Ai memeluk mereka berdua. Sano terkekeh,

“Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa menikah dengan wanita satu ini!”

“Oh, ya, Ai. Kau tidak bersama Ueki?” tanya Rinko. Ai terdiam sebentar. Pertanyaan yang sama.

“U-ueki? Eh, tidak. Aku tidak bersamanya.”

Rinko dan Sano bertatapan. Rinko menggenggam tangan Ai,

“Ai-chan...”

“Tenang saja, Rinko! Sano! Jika aku bertemu dengannya, aku akan memukulnya berkali-kali!” Ai berusaha ceria. Tapi, dalan hatinya, ia memang ingin melakukan itu.

“Eh, wakilkan aku ya~!” kata Sano cepat. “Aku juga!” Rinko menimpali.

1, ditambah 2 pukulan dari Rinko dan Sano, apakah cukup untuk menyadarkan si bodoh itu bahwa semua orang ingin tahu keadaannya? Keberadaannya? Ai Mori rasa itu tidak cukup.

***

Ai mengedarkan seluruh pandangannya pada tamu yang muncul dari pintu masuk. Berharap laki-laki berambut hijau datang. Tapi, sudah hampir 3 jam Ai disini sosok itu belum juga kelihatan.

“Ai Mori” Ai menoleh. Ia mendengar suara berat seseorang... ah, bukan. Itu bukan Ueki. Tapi...

“Eh? R—robert? Robert Hydn, benar kan?”

“Ya. Lama tidak ketemu ya” Robert dengan gaya luxury-nya mendekati Ai dengan segelas white wine di tangannya.

“Oh, ya. Lama tidak bertemu” Ai sedikit kikuk, karena ia tidak terlalu dekat dengan Robert ini. Apalagi, Robert ini kan mantan musuhnya.

“Sepertinya... kau mencari dia ya? Aku, Hideyoshi, 2 pasangan itu... juga sama. Menunggu sosoknya.” Kata-kata Robert 100% benar. Ai menoleh pada Robert. Robert mengembangkan senyumnya,

“Wakilkan aku untuk memukulnya, ya?”

Ai mengangguk sambil tersenyum.

***

1 jam lewat, dan sosok yang ditunggu banyak orang itu tidak juga datang! Ai sampai pegal! Apalagi ia memakai highheels. Ai menghembuskan napasnya. Apakah sebaiknya ia pulang saja? Ai menatap jam tangannya. Hampir jam 12 malam. Tamu undangan memang masih banyak, tapi tidak sebanyak jam sebelumnya.

Ai melangkahkan tubuhnya keluar gedung. Mungkin, memang bukan takdirnya bertemu dengan Ueki. Ah, bakatnya itu. Mungkin bakat kosong Ueki itu sudah tidak bisa berfungsi lagi. Ai menatap langit malam. Air matanya turun dengan sendirinya.

“Maaf, apa benar ini gedung pernikahan Rinko dan Sano?” seseorang menghampiri Ai yang sedang tertunduk sambil mengelap air matanya. Bodoh, menangis di saat seperti ini.

Tanpa menatap orang yang bertanaya itu, Ai menjawab, “Benar. Masuk saja kedalam”

“Oh, terima kasih ya!”

Orang itu pun berlalu. Ai mendongakkan wajahnya. Tunggu. Ai merasa aneh. Ia merasa... Ueki ada di dekatnya. Tapi... dimana? Ai mengedarkan pandangannya. Ia menatap punggung orang yang bertanya padanya tadi. Rambutnya hijau... seperti Ueki...

Mata Ai melebar. Sosok itu hilang.

Itu... Ueki!

***

Ai berlari dengan susah payah menuju kembali ke dalam gedung. Tidak salah lagi, orang itu Ueki! Siapa lagi yang mempunyai rambut hijau jabrik selain Ueki? Ai mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan. Sosok itu tidak bisa Ai temukan.

Ai menoleh ke arah kiri. Punggung itu, sosok itu... terlihat lagi. Ai berlari lagi. Mengejar sosok itu. Ai berlari susah payah. Kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Kakinya sakit karena lecet memakai highheels.

Brugh. Ai terjatuh. Lututnya terasa nyeri. Sosok itu hilang lagi. Ai tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ai menangis. Ditengah kerumunan tamu undangan. Tapi... tidak ada yang peduli. Ai juga tidak peduli. Yang Ai inginkan saat ini hanyalah Ueki. Hanya melihat wajahnya yang tersenyum saja itu lebih dari cukup.

***

Ai menapakkan kakinya pada rumput hijau di luar gedung pernikahan. Sepatunya ia tinggalkan didalam, biar saja terseret, atau terinjak orang lain. Ai sudah tidak peduli. Ai menatap kakinya yang merah-merah itu.

“Sialan! Gara-gara kau, Ueki! Kakiku sakit begini! Gara-gara kau, Ueki! Kau membuatku menangis di hari pernikahan Sano dan Rinko! Gara-gara kau, Ueki! Kau...!”

“Hei, permisi...” Ai menghentikan omelannya pada Ueki – yang entah itu didengar oleh Ueki atau tidak – karena seseorang menepuk pundaknya. Ai berbalik.

Ai tidak bisa bernapas sekarang. Tubuhnya serasa tersengat listrik. Matanya tidak berkedip. Ai tidak percaya dengan siapa ia berhadapan.

Si rambut hijau, Ueki. Aku... tidak salah lihat, kan?

“Uh... hei, halo! Nona! Aku mau bertanya... ini... uhm, apakah ini sepatu punyamu? Aku tersandung sepatu ini dan...”

Brugh. Ai jatuh memeluk Ueki. Ia tidak tahan lagi. Ia ingin sekali memeluk sosok ini. 10 tahun! Ai sudah menunggu 10 tahun! Sosok di depannya terdiam. Lalu, lama-lama tersenyum.

“Hei... jangan menangis, Ai Mori. Aku pulang..”

***

“Serius tidak mau dipakai sepatunya?” Ueki bertanya pada Ai untuk yang ketiga kalinya. Ai menggeleng,

“Kau tidak lihat? Kakiku merah begini... sakit.” Ai menjulurkan kakinya. Ueki tersenyum geli. Ai berubah sekali. Bukan seperti Ai 10 tahun yang lalu. Ueki menatap Ai, intens.

“K-kenapa menatapku begitu?”

“Rambutmu... panjang ya.” Kata Ueki polos. Ai menatap Ueki gemas. Hanya itu? Hanya itu yang Ueki katakan?

“Hanya... itu?”

“Apanya?”

“Yang mau kau katakan?”

“Apalagi... kau tetap seperti Mori yang dulu.”

Bugh! 1.

Bugh! 2. 3.

Bugh! 4.

Ai memukul Ueki 4 kali. Seperti biasa, Ueki tidak bisa menghindar dari serangan Ai.

“H-hei! Apa salahku? Aww...” Ueki mengusap kepala dan lengannya yang sakit karena di pukul Ai.

“Itu dariku, Sano, Rinko dan Robert. Suruh siapa tidak memberi kabar!! Kau tidak tahu apa, kami semua menghawatirkanmu! Merindukanmu! Kemana saja sih, kau selama 10 tahun ini?!” kata Ai galak. Ueki menatap Ai. Ucapan Ai serius. Buktinya, Ai mengeluarkan air mata lagi.

“Maaf... hari ini aku cengeng sekali ya..” Ai mengalihkan wajahnya ke arah lain, menghapus air matanya. Ueki ingin sekali menghapus air mata Ai. Ia tidak mau orang menangis karenanya.

“Maafkan aku, ya... Ai. Hanya saja... aku...”

“Tidak apa-apa! Toh, kau sudah sudah kembali kan? Bagiku... bagiku... itu... sudah membuatku bahagia...” Ai menundukkan wajahnya.

Ueki pun memeluk Ai.

Entah mendapat dorongan darimana, Ueki ingin sekali melakukan itu. Ueki pun tidak bisa mengelak, kalau ia sangat merindukan sahabat-sahabatnya disini... terutama Ai Mori. Salah satu alasan Ueki pulang... karena Ai Mori. Ia tahu, perempuan satu ini pasti menghawatirkannya.

“Maafkan aku Ai. Maafkan aku, ya?”

***

3 minggu berlalu. Setelah acara pernikahan itu, Ai tidak bertemu dengan Ueki lagi. Ai menatap foto 10 tahun lalu itu lagi. Ueki... sedikit berubah. Ia memang polos, tapi... ia sedikit lebih dewasa. Lagipula, Ai sudah memaafkan Ueki sepenuhnya. Ia tidak bisa terus menerus mengatakan Ueki bodoh atau apa. Selama 10 tahun ini... Ueki ada di Langit, lebih tepatnya di Megasite. Sebagai manusia langit, ia mempunyai tanggung jawab di atas sana. Berlatih, dan membiasakan hidup di sana. Selama 10 tahun itu... Ueki memang tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan manusia di bumi. Ueki membantu ayahnya yang kini persiapan untuk menjadi dewa diatas sana.

Drrrt. Ponsel Ai bergetar. Satu pesan dari nomor tidak dikenal.

Ai-chan, temani aku membersihkan taman jam 4 sore ya. –Ueki

Muncul semburat merah dari pipi Ai. Apalagi, Ueki memanggilnya dengan ‘Ai-chan’. Selama kenal dengan Ueki, Ai tidak pernah dipanggil ‘Ai-chan’ oleh Ueki. Ai tidak mampu menahan senyumnya. Rasanya seperti terbang ke angkasa!

Tapi Ai kembali menggeleng. Jangan berharap terlalu banyak. Ai-chan itu kan memang panggilanmu, Ai. Memangnya dengan Ueki memanggilmu dengan Ai-chan bisa mengubah keadaan?

Ai menutup ponselnya. Memilih baju apa yang akan ia pakai. Ai, Ai. Jam 4 itu masih 9 jam lagi!

***

Ai memakai swater coklatnya. Lehernya dibalut dengan syal berwarna hijau. Ai malah kena flu! Memang sih, hari ini memang sudah mau masuk ke musim dingin. Ai melangkahkan kakinya menuju taman. Ah, taman ini penuh kenangan sekali. Ai tetap membersihkan taman tanpa Ueki, selama 10 tahun ini.

“Ai-chaaan! Disini!” Ueki melambaikan tangannya pada Ai. Ai sedikit bingung, kenapa Ueki tidak memegang sapu?

“Ueki, mana sapumu? Katanya mau membersihkan taman?”

“Sudah selesai! Sebenarnya aku sudah disini dari pagi. Aku hanya... ingin bertemu denganmu. Sudah lama, ya, Ai Mori” Ueki tersenyum. Pipi Ai memerah lagi.

Kini Ueki dan Ai duduk bersebelahan di kursi taman dalam diam. Tak ada yang berbicara. Keduanya menahan malu yang amat besar.

“Eh, Ai-chan... kata orang sekitar sini... kau selalu membersihkan taman selama tidak ada aku, ya?”

Ai menoleh, “Eh? Iya..”

“Baguslah! Kukira, hanya aku saja yang peduli dengan lingkungan... terima kasih ya Ai” Ueki tersenyum tulus pada Ai. Ai mengangguk malu.

“Oh ya, Ai. Mulai hari ini... aku diperbolehkan lagi tinggal dibumi”

“Eh? Benarkah?”

“Mm. Ai, maukah kau memulai kehidupan baru bersamaku?” Kini Ueki menatap Ai lekat. Ai menatap Ueki bingung, apa maksud kata-katanya?

“A...apa maksudmu?”

Ueki tampak berpikir. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan 2 kertas sampah. Ia mengepalkan tangannya. Sampah itu pun berubah menjadi kayu yang melingkar-lingkar menjadi sebuah cincin. Ai terkejut. Jangan-jangan... Ueki...

“Uhm... anggap saja... aku sedang melamarmu...” Wajah Ueki memerah padam. Ueki meraih tangan Ai, dan memasangkan ‘cincin’ itu di jari manis Ai.

“Ai, menikahlah denganku!”

Tangis Ai pecah. Ia tidak bisa menahan kebahagiaannya itu. Ai memeluk Ueki. Ueki juga tersenyum, balas memeluk Ai.

“Sudah dong Ai... jangan menangis...”

“Da-dasar bodoh... tentu saja aku mau menikah denganmu...” isak Ai bahagia. Ueki melepas pelukannya, dan menadah wajah Ai yang memerah karena menangis. Jari Ueki mengusap air mata Ai.

“Jangan menangis lagi, ya, Ai?”

Ai mengangguk. Tangan Ueki masih di pipi Ai. Ueki mendekatkan wajahnya pada Ai... dan...

“Hatchi!!!”

***

FIN

Selesai juga fict ini! xD gimana? Hahahaha ini Cuma beberapa jam aja buatnya. Dengan total 2,656 word! Mungkin akan direvisi sedikit. Hehe :D

uhuhu~ gimana?

No comments:

Post a Comment